Kamis, Maret 26, 2009

STRATEGI PEMIMPIN MEMECAHKAN PERSOALAN

Seperti yang penulis katakan sebelumnya dalam memecahkan permasalahan (konflik) dibutuhkan kebijaksanaan yang tepat sehingga tidak menimbulkan persoalan yang baru atau menghilangkan masalah tanpa adanya penyelesaian yang tepat, yang pada akhirnya suatu saat masalah itu akan muncul kembali dan menjadi masalah yang sangat buruk. Untuk memecahkan masalah diperlukan teknik untuk membantu kita mendapatkan pemecahan yang tepat dan baik atas persoalan itu. Disini penulis memberikan beberapa teknik pemecahan yang mungkin pembaca dapat terapkan untuk memecahkan suatu konflik.
1. Pemecahan masalah. Adalah sangat tidak bijaksana dan tidak lebih baik apabila suatu pihak menarik diri karena ada suatu konflik. Dan alangkah baik setiap pihak yang bertikai mengambil sikap duduk bersama (tatap muka) dengan berdialog untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkannya melalaui pembahasan yang terbuka yang didasari dengan sikap rendah hati antara kedua belah pihak.
2. Tujuan atasan. Menciptakan suatu tujuan bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama dari masing-masing pihak yang sedang konflik. Mengedepankan kepentingan pribadi/kelompok atas kepentingan bersama, tidak akan pernah menyelesaikan permasalahan secara universal.
3. Perluasan sumber daya. Kekurangan/ketiadaan sumber daya yang menyebabkan terjadinya konflik seperti ketiadaan uang, sarana-prasarana (tempat/peralatan), maka perluasansumber daya yang mungkin dapat diciptakan adalah “solusi menang-menang (win-win solution).
4. Penghindaran. Disaat pintu konflik (potensi konflik) mulai ada, kesadaran semua pihak untuk menarik diri atau menekan konflik sangatlah diperlukan.
5. Perataan. Prinsip yang mngedepankan kepentingan bersama atas kepentingan pribadi/kelompok yang berkonflik. Suatu perbedaan adalah wajar, namun bukan menjadikan setiap pihak berbeda tujuan atau tidak dapat bersatu.
6. Kompromi. Kerendahan hati semua pihak yang bertikai menerima kepentingan bersama dan melepaskan (mengorbankan) sesuatu yang berharga atau kepentingan pribadi/kelompok.
7. Komando otoritatif. Perlu adanya manajemen yang baik atas pengunaan otoritas formal yang diberikan dalam memecahkan konflik, yang selanjutnya keinginannya disampaikan kepada pihak-pihak yang terlibat.
8. Mengubah struktur manusia. Sikap setiap manusia sangat mempengaruhi timbul atau tidak timbulnya suatu konflik. Oleh karenanya, dibutuhkan perubahan sikap dan perilaku kearah yang bersifat membangun yang tepat dari semua pihak, sperti pelatihan human relation yang baik (bndg. Gal,6:1-4; 1Kor,3:8; Fil,2:2-4).
9. Mengubah struktur organisasi. Perubahan struktur organisasi dan pola hubungan antara pihak yang berkonflik dapat dilakukan apabila hal itu menyebabkan konflik, melalui desain ulang pekerjaan, pemindahan, pembuatan jabatan yang baru, dan lain-lain.
Suatu konflik tidak selamanya menjadi seseuatu yang buruk jika saja setiap pihak memehami semua kondisi yang ada. Dan juga pandangan yang tepat atas konflik itu sendiri yakni memandang konflik itu sebagai suatu “dinamika” dalam sebuah kelompok/organisasi tanpa terkecuali. Konflik bukan untuk kita hindari tetapi kita mencari apa yang menjadi pemecahannya untuk kebaikan bersama. Konflik akan menjadi indah manakala konflik itu dapat diarahkan dengan baik dan tepat. Organisasi yang tidak mampu mengelola konflik atau menghindar dari konflik, niscaya organisasi/kelompok itu berkembang dengan baik atau bersifat kaku karena menutup diri pada ide-ide/gagasan baru dan segar. Semoga bermanfaat, jadilah pemimpin yang bijaksana, berhikmat dan berpengertian dalam segala hal.
Disadur dari berbagai sumber oleh Fasaoga

CARA ORANG KRISTEN MEMECAHKAN KONFLIK

Kata bijak mengatakan tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Kalimat ini ada benarnya tergantung bagaimana sikap kita terhadap permasalahan itu sendiri. Adalah lebih baik dalam mengahdapi segala sesuatu kita punya prinsip “berpikir dahulu baru bertindak bukan bertidak dahulu baru berpikir”. Yang dibutuhkan dalam memecahkan konflik adalah kebijaksanaan dalam mengambil keputusan yang tepat atas persoalan itu. Beberapa cara yang dapat kita lakukan dalam menghadapi persoalan.
1. Kita dapat mengabaikannya. Kita telah membiasakan diri kita untuk mengabaikan masalah, untuk tidak melihat kebanyakan persoalan kita. Seandainya kita tidak sanggup mengabaikan sesuatu, pasti kita semua akan masuk orang yang mengalami gangguan kejiwaan (maaf, barangkali kita semua berada dirumah sakit jiwa). Kita harus mampu melihat persoalan yang mana yang lebih perlu. Dan perlu diingat juga masalah-masalah kecil yang sering muncul kembali adalah gejala adanya masalah tersembunyi yang lebih besar sehingga diperlukan penyelidikan yang lebih mendalam atas persoalan itu.
2. Kita dapat menghindarinya. Menghadapi suatu prsoalan prlu adanya ketelitian dan pemahaman yang tepat akan masalah itu sehingga kebijakan yang kita ambil tidak menimbulkan masalah baru yang tadinya tidak ada menjadi ada bahkan mungkin lebih besar lagi.
3. Menjaga agar jangan timbul permasalahan. Adanya peluang terjadinya persoalan baru, dibutuhkan pengambilan keputusan yang tepat agar peluang terjadinya masalah tadi tidak terjadi. Ibarat menjauhkan barang/benda tajam dari jangkauan anak-anak dengan menyimpannya ditempat yang tidak dapat dijangkau anak-anak sehingga tidak terjadi resiko yang fatal bagi anak tersebut.
4. Memecahkan persoalan itu. Namun perlu diingat juga bahwa tidak semua masalah memiliki pemecahan yang sama, tergntung bentuk/sifat dari masalah itu sendiri. Misalnya apabila muncul suatu kesalahpahaman, maka yang dibutuhkan oleh pihak yang salah paham tersebut untuk memecahkan permasalahan adalah “pengertian”.
5. Belajar hidup dalam persoalan itu. Jika suatu masalah itu dianggap suatu hal yang perlu dihindari akan membuat kita tidak pernah menyelesaikan persoalan. Tidak semua konflik menghasilkan hal yang buruk, tapi dapat juga bermanfaat bagi kita yang biasa biasa dalam hidup. Ambil contoh persoalan yang dihasdapi Paulus ketika dia menjadi pengabar injil diberbagai tempat, dia rela untuk dipenjarakan. Tapi apa yang menjadi sikap Paulus sangatlah kontroversial secara logika kita manusia. Paulus menerima dan menyetujui kondisi itu karena keyakinannya terhadap Tuhan (bndg 2 Korintus,2:8-10)
6. Sikap orang Kristen terhadap masalah. Jika kita orang yang percaya bahwa firman Tuhan itu benar, persoalan yang kita hadapi bukanlah suatu hal yang ditakuti orang Kristen. Alkitab menunjukkan pada kata bagaimana menghadapi persoalan (konflik) seperti yang disaksikan oleh Paulus dalam (2Korintus 12:8-10) dan yang ditulis oleh hamba-hamba Tuhan lainnnya (bndg Yakobus 1:2-5).

Sumber Terjadinya Konflik Dalam Pelayanan/Gereja

Adanya suatu konflik disebabkan adanya sumber konflik tersebut. Seorang pemimpin maupun orang yang berperan serta mengetahui sumber konflik sesungguhnya untuk dilakukan penyelesaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik :
1. Filosofi kepemimpinan dalam geraja/pelayanan yang tidak tepat.
2. Arti persekutuan (gereja/pelayan) yang sempit. Biasanya gereja/pelayanan hanya berkisar pada perhimpunan kehadiran dalam kebaktian dinilai sebagai kekristenan itu sendiri
3. Gereja ataupun pelayanan tidak atau kekurangan tujuan yang pasti
4. Masalah yang timbul bisa memicu adanya konflik. Masalah merupakan kesenjangan antara harapan dengan fakta atau kondisi atau situasi normal yang sudah berubah menjadi tidak normal lagi. Ketidak normalan situasi dan kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor:
a) Salah mengerti yaitu salah mengerti tindakan atau perkataan orang lain atau situasi dan kondisi. Salah mengerti ini meliputi: ketidakmampuan ‘melihat’ dengan jelas semua faktor/unsur yang terlibat; salah menafsirkan arti atau motif dibalik perkataan atau perbuatan seseorang; dan ketidak cocokkan; pertengkaran/ perselisihan karena kurang puas atas jawaban tau tindakan seseorang
b) Salah menafsirkan tindakan ataupun perbuatan orang lain atau keadaan sekitar menyebabkan munculnya akar konflik
c) Kekacauan. Seluruh data yang diperlukan tersedia, tetapi tidak tersusun secara kronologis atau tidak sesuai dengan kebiasaan berpikir kita.
d) Konfrontasi-konfrontasi. Adanya hambatan pencapaian tujuan yang bisa nyata ataupun khayalan saja (gambaran mental saja) seperti kekhawatiran dan ketakutan
e) Kekurangan jawab yang diterima atau tidak sepaham dengan pemecahan-pemecahan yang diterapkan (kurang informasi)
f) Sikap yang salah atau tidak bersifat kristiani. Kesulitan-kesulitan tidak ada kecuali kita menjadikan situasi normal berubah menjadi masalah. Jika harus memilih antara berorintasi pada “masalah” atau “situasi”, kesulitannya bukanlah terletak pada yang sedang terjadi melainkan pada sikap kita menghadapi persoalan itu.
g) Keperluan secara fisik, psikologis dan spiritual tidak trpenuhi. Banyak hal yang diinginkan namun tidak semua hal diperlukan, oleh karena perlu adanya pemilahan anatara keduanya.

Bagaimanakah Masalah Itu Dalam Kristen?

Jika orang pada umumnya menganggap bahwa konflik/masalah sesuatu hal yang buruk, mungkin bisa diterima karena fakta demikian yang mereka terima. Konflik (permasalahan) selalu melibatkan dua atau lebih sisi berlawanan, baik yang berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda. Dalam hidup orang Kristen apakah hal ini sesusatu yang perlu kita terima atau ditolak? Yakobus 1:2-5 coba menjawab pertanyaan ini.”Adalah suatu kebahagiaan jika orang Kristen jatuh dalam pencobaan karena hal itu akan menjadikannya sempurna. Bagi orang Kristen masalah bukan sesuatu yang buruk sehingga dihindari. Akan tetapi masalah itu merupakan ujian bagi orang Kristen kearah yang lebih baik. Situasi apapun akan dapat menjadi masalah (menimbulkan konflik apabila kita merasa atas persoalan itu tetapi kita tidak mendapatkannya. Hal tersebut tidak dapat bahwa harus ada jawab diterima sebagai bagaian dari situasi yang normal; hal itu tidak dapat terselesaikan dalam waktu yang cukup lama. Dan sebaliknya masalah yang buruk akan menjadi pengalaman yang indah apabila firman Allah dalam Yakobus 1;2-4, kita terima suatu kebenaran firman Allah; akibat (dampak) dari pengalaman itu dapat ditafsirkan sebagai kemenangan; dan bersuka dalam duka, serta berlimpah dalam kemurahan dan memberi sesuai dengan kemampuan.

MENGELOLA KONFLIK MENJADI DINAMIKA DALAM PELAYANAN/GEREJA

Mendengar kata konflik bukanlah sesuatu kata yang baru atau juga telah usang ditelinga kita. Siapapun pastilah pernah mendengar,melihat, dan mengalami bahkan mengatasi konflik, baik konflik internal maupun konflik eksternal. Bagi sebagian orang konflik dipandang sebagaii seseuatu yang buruk atau selalu memiliki konotasi negatif. Konflik sering dihubungkan dengan pertengkaran, perkelahian,pengrusakkan, perpecahan dan lain sebagainya. Contohnya adalah konflik di Aceh, di Poso, konflik dalam organisasi seperti konflik di partai kebangkitan bangsa antara Gusdur dengan Muhaimin Iskandar dan lain-lain. Ataupun apabila kita mendengar ada konflik didalam pelayanan, kita sudah segera mengetahui apa yang dimaksudkan, dan sebaliknya juga konflik tidak selalu membawa hal yang buruk tapi ada juga makna ataupun nilaii positif dari konflik itu. Konflik selalu melibatakan dua atau lebih sisi yang berlawanan, baik itu berhubungan dengan orang, peraturan, budaya, maupun benda-benda tertentu. Jikalau demikian halnya yang menjadi pertanyaan bagi kita “apakah konflik seuatu hal yang perlu kita hindari?”

Untuk menjawab pertanyaan itu maka terlebih dahulu kita harus berada pada pemahaman yang sama tentang makna konflik itu. Secara umum konflik diartikan sebagaii percekcokkan; perselisihan, pertentangan, atau ketegangan. Contoh sederhanya adalah konflik batin, yang artinya bahwa dalam diri seseorang terdapat dua atau lebih gagasan atau keinginan yang bertentangan seperti dalam memilih “tujuan hidup”-mengikuti keinginan duniawi atau mengikuti “jalan yang benar”. Hal ini biasanya akan mempengaruhi tingkah laku seseorang trsebut. Contoh lain yang dapat kita lihat atau alami langsung adalah konflik sosial yang artinya terdapat pertentangan/perlawanan /persaingan antar anggota masyarakat yang sifatnya universal. Konflik dapat terjadi apabila pihak-pihak yang bertentangan saling bertemu dan berbenturan.

Suatu perbedaan, ataupun yang bertentangan (berlawanan) jika dikelola dengan baik dan tepat (asal tidak berbenturan) akan memberikan dampak yang positif. Salah satu contohnya, didalam ilmu pengetahuan , aliran listrik pada dua kutub yang berbeda yang terdapat dalam sebuah baterai akan mengahasilkan tegangan (jangan dikontak langsung, akan terjadii hubungan pendek) yang dapat diperlukan untuk untuk menghasilkan aliran listrik. Jikalau hasil tegangan ini dikelola, diarahkan, diatur sedemikian rupa , tentu akan memberikan manfaat yang berguna untuk menerangi, ketika tegangan itu meneurun/hilang, maka terang suatu lampu juga hilang (padam). Contoh-contoh diatas sapat menjadi bahan atau dasar pemikiran bagi kita tentang makna dan pengaruh positif dan negatif suatu konflik.Dalam tulisan ini penulis mencoba meminjam definisi konflik yang dibuat oleh Stephen Robbins yang mengatakan bahwa “konflik (pertentangan) adalah suatu proses yang mulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah atau akan segera mempengaruhi secara negatif sesuatu yang menjadi perhatian pihak pertama. Artinya bahwa apabila dalam suatu kegiatan yang sedang berlangsung terdapat titik interaksi (titik permasalahan dalam hubungan satu dengan lainnya) yang saling bersilangan, maka titik tersebut berpotensi menimbulkan konflik antar pihak. Kemungkinan konflik yang terjadi dapat berbentuk/sifatnya kasar, terbuka, dan penuh kekerasan atau halus yang diwujudkan dalam ketidaksepakatan. Barangkali definisi diatas menambah pengetahuan atau membuka mata kita dalam memandang suatu konflik. Mungkin saja selama ini kita memiliki pandangan bahwa konflik sesuatu yang buruk (negatif/merugikan) sehingga harus dihindari akibat dari pada komunikasi yang buruk, kurang keterbukaan, kepercayaan antar orang-orang dengan para pemimpin ataupun mitra dan sebaliknya pimpinan tidak tanggap terhadap kebutuhan para bawahannya. Ataupun juga menganut pandangan bahwa konflik adalah kejadian yang wajar/tidak terhindarkan dalam organisasi sehingga harus diterima karena dapat dijadikan pendorong kinerja kelompok/organisasi itu sendiri. Maupun pandangan lainnya yang menganggap konflik adalah hal yng mutlak perlu dalam organisasi /kelompok agar kinerjanya efektif, karena adanya keterbukaan dalam menerima gagasan atau ide-ide segar dan baru yang muncul, yang pada akhirnya organisasi tidak bersifat kaku, demokratis, atau “yes man” dapat diminimalkan. Terlepas apa dan darimana kita memandang suatu konflik, namun yang perlu kita perhatikan bahwa secara umum konflik dalam organisasi/kelompok terjadi apabila terdapat dua atau lebih hal/pendapat yang berbeda atau bertentangan yang tidak dapat dikompromikan. Dan apabila masing-masing pihak yang berbeda pendapat itu bersih keras memaksakan pendapatnya sendiri atau kelompoknya, maka peluang terjadinya konflik yang berkepanjangan akan bisa terjadi dan menimbulkan perpecahan dalam kelompok/organisasi itu sendiri yang pada akhirnya juga akan menghambat kinerja organisasi/kelompok apabila konflik yang terjadi tersebut tidak diatasi dengan baik dan tepat. Dan hal ini dapat terjadi diorganisasi manapun tidak terkecuali organisasi pelayanan atau gereja.
(Disadur oleh Fasaoga, dari berbagai sumber)

PENGARUH MODEL CTL TERHADAP HASIL BELAJAR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini permasalahan pendidikan di Indonesia terus menjadi perbincangan diantara kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hasil belajar yang rendah dari kebanyakan lulusan lembaga pendidikan di Indonesia khususnya lembaga pendidikan tingkat menengah atas yang hingga sekarang belum menunjukkan hasil yang maksimal sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya justru mengalami penurunan hasil belajar siswa (Baedhowi, “Pembentukan Karakter Diabaikan”, Kompas,18 November 2008, hal. 18).

Penurunan hasil belajar siswa ini juga dapat dilihat dari tingkat kelulusan siswa yang mengikuti ujian nasional. Dari data yang diperoleh, tingkat kelulusan siswa peserta Ujian Nasional 2008 mengalami penurunan dari 93% pada tahun 2007 menjadi 92% pada tahun 2008 atau turun 1% (depdiknas:2008). Demikian juga di Sumateran Utara, sebanyak 11.1392 siswa atau 4,08% siswa SMA tidak lulus UN dari standar kelulusan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku lembaga pelaksana Ujian Nasional 2008, yang menetapkan salah satu kriteria peserta didik dinyatakan lulus UN apabila nilai rata-rata minimal 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 (http://www.sfeduresearch.org/content/view/339/65/ lang,id/.).

Fakta lain yang menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa, dapat dilihat langsung di sekolah-sekolah. Itu tercermin dari perolehan nilai siswa di SMA Swasta Raksana Medan, salah satu sekolah yang ada di Medan. Selama kurun waktu lima tahun terakhir ini mengalami penurunan hasil belajar siswa. Dari informasi yang diperoleh dari kepala sekolah dan guru bidang studi akuntansi menunjukkan rendahnya hasil belajar siswa disekolah tersebut, khususnya mata pelajaran akuntansi. Ini terbukti dari nilai rata-rata harian kelas yang di peroleh siswa menunjukkan siswa yang mendapatkan nilai diatas 80 sebanyak 10% dan nilai 60-80 sekitar 30%, dan sisanya di bawah 60 sekitar 60%.

Keberhasilan siswa dalam suatu proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor baik secara internal maupun secara eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada dalam diri siswa tersebut seperti kesehatan, psikologis. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa dapat berupa keadaan sosial ekonomi keluarga, sarana prasarana sekolah, lingkungan tempat ia tinggal, kurikulum, kualitas guru, dan sebagainya. Seorang guru harus mampu memahami faktor-faktor ini dan merancang pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan menggunakan strategi dan metode pengajaran yang bervariasi sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih menarik dan tidak membosankan dan siswa mau aktif dalam proses belajar mengajar.

Akan tetapi metode pembelajaran yang umum digunakan oleh guru-guru disekolah adalah metode pembelajaran tradisional (MPT). Pada pola ini, peserta didik diposisikan sebagai objek pembelajaran sedangkan guru sendiri sebagai subjek. Kemudian Canra (2008:5) menyatakan “pembelajaran tradisional telah menjadikan peserta didik cenderung pasif dan apatis sehingga peserta didik tidak mengalami proses dari pembelajaran tersebut”. Seperti halnya yang terjadi di SMA Swasta Raksana Medan khusunya dalam mata pelajaran akuntansi, guru masih cenderung menjadi pusat yang memberikan pengajaran secara umum dan bersifat satu arah tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan siswa. Dalam proses pembelajaran guru menjelaskan bahan ajar dengan ceramah, memberi contoh soal untuk dikerjakan bersama-sama dikelas, dan memberi tugas di akhir pembelajaran untuk dikerjakan dirumah. Hal ini menjadi salah satu faktor rendahnya hasil belajar akuntansi siswa disekolah tersebut.

Untuk itu dalam mengajarkan akuntansi diperlukan pengajaran yang mendorong siswa mau mempraktekkan apa yang telah dipelajarinya dalam kehidupannya sehingga siswa dituntut untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar mengajar. Agar hal ini dapat tercapai, maka guru sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa harus mampu melakukan pengajaran yang efektif dan efisien dengan merancang model pembelajaran yang sesuai dan strategi serta metode yang bervariasi sehingga pembelajaran menarik dan tidak membosankan bagi siswa.

Salah satu model pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
(Makalah ini disampaikan pada seminar proposal untuk diteliti oleh Fasaoga. Dilarang menjiplak/mencopy isi makalah ini tanpa seizin penulis)